Jumat, 06 November 2015

Lagi-lagi, entahlah!

Kamu pasti takut sendiri. Aku juga. Kemarin, waktu kau bilang kau akan pergi jauh, aku makin takut. Ada semacam perih dalam hati yang membuat mataku dipaksa berair. Pipiku becek. Sayang, air mataku, sederas dan sebanyak apapun ia mengalir, tampaknya tak punya daya menahanmu untuk tetap di sini. Maka detik itu aku pura-pura tersenyum. Detik selanjutnya aku menyadari bahwa tersenyum sama sekali tak melegakan.

Bila kau mengerti. Dalam senyum yang kubuat-buat itu sebenarnya hatiku berdo’a:  “Tuhan, tak bisakah Kau lewatkan aku dari cerita tentang keterpisahan ini?”. Belum sempat kudengar jawaban dari-Nya, lantas kususul dengan doa-doa senada: ”Tak bisakah waktu Kau putar lebih cepat sampai ia kembali?”“Tak bisakah untuk kali ini saja, anugerahi hambamu ini kemampuan untuk memperbudak waktu?”. Entahlah, semoga saja dengan semakin beragam doa yang kuucap, Tuhan semakin ramah sebab punya banyak pilihan untuk dikabulkan.

Menjauh untuk menjaga. Kau tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan. Aku mulai mengira, barangkali analogi itu cuma pembenaran teoritis atas tragedi ketidakmampuan mencintai—dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa.

Apa yang bisa diharapkan, dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak berdaya?

Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya dengan kalimat ‘Amour Vincit Omnia’ ?

Kalau saja  matahari, memang mencintai bumi. Dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air matanya sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu majnun-lah ia, sebelum akhirnya mati dalam sebuah keterpurukan. Apakah selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas yang beda rupa selalu mencipta luka?

Menjauh untuk menjaga.

Sampai pada baris tulisanku yang kesekian ini, aku masih belum bisa menerima konsep itu. Seperti konsep ‘rela menunggu untuk kebahagiaan’. Lagi-lagi, entahlah. Barangkali karena aku terlalu merindukanmu, hingga bahkan aku tak rela menunggu, terlebih lagi membuatmu menunggu.



Ja(t)uh - Azhar Nurun Ala :**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar