Sabtu, 10 Mei 2014

Apa salahnya Flashback?

Saya hanya hendak mengutarakan perasaan saya saja, bernostalgia dengan masa lalu saya sendiri apa salahnya? Saya hanya hendak melegakan perasaan saya, sekaligus melegokannya kemana saja dia mau.

Kala itu saya sedang penat-penatnya dengan deadline dari kampus dan berusaha menyenangkan diri dengan kesibukkan saya yang tidak terlalu berarti. Lalu saya menerima sebuah SMS dari nomor ponsel yang sudah tidak asing lagi bagi saya. Awalnya sekedar saling bertanya kabar, lalu kemudian memberikan sebuah pernyataan "Cuma kangen sama Neta". Siapa sih yang engga nge-Fly kalau dibilang gitu sama orang tuanya pacar. Mendadak saya tersenyum simpul dan merasa ada rona merah dipipi saya. Hehehe..

Keesokkan harinya seperti biasa, saya dan pacar saya saling berkirim SMS. Tetapi kali ini seperti ada yang berbeda, setelah beberapa menit yang lalu dia menelpon saya, SMS yang dikirim mulai aneh, ngawur. Beberapa saat saya berpikir lalu, saya pututskan untuk menelponnya balik.

Tuuttt..

Tak perlu waktu lama, telpon saya langsung diangkat. Suara lawan bicara saya diseberang telpon sana terdengar lirih, tak bersemangat sama sekali.
"Kenapa? Kok aneh.." spontan pertanyaan itu keluar dari mulut saya ketika telpon diangkat.
"Saya minta maaf ................." dengan nada yang. Ntahlah.

Percakapan via telpon itu hampir berlangsung satu jam. Dan saya tidak mengerti apa maksudnya, atau lebih tepatnya, saya tidak mau mengerti tentang maksudnya.

Apa iya dia meminta saya untuk pergi? Mengusir saya dari dalam hatinya agar saya cepat-cepat keluar dari sana? Apa dia tidak menginginkan saya disampingnya lagi? Apa sudah ada malaikat lain yang merebut hatinya? Apa sikap saya membuat dia tidak senyaman dulu? Apa saya terlalu sibuk dan tidak peduli dengannya? Salah saya apa?

Tangan kanan saya gemetar memegangi ponsel saya sedang tangan kiri saya sibuk menyeka air mata yang berlomba-lomba keluar dari kedua mata saya, atau sesekali menekan dada saya yang terasa sesak. Saya berusaha untuk menahan suara isakan tangis itu, agar tidak mengganggunya diseberang telpon sana, walaupun sebenarnya dia tahu saya menangis dan terluka karena dia.

Bibir saya bergetar, suara saya serak seketika. Tangis itu, isak-isak kecil itu tak tertahan, mereka terlalu keras untuk saya simpan. Saya membatin. "Sekejam itukah kamu terhadap saya?"

Dia meminta saya untuk tidak menangis. Tapi bagaimana bisa saya tidak menangis ketika hati yang telah saya pilih mengusir saya keluar tanpa alasan, tanpa ada perang terlebih dahulu. Semuanya baik-baik saja, lalu kenapa harus mendadak begini?

Dimana kamu yang selalu memperjuangkan apa saja untuk saya, untuk kita? Dimana kamu yang dulu? Kenapa semudah ini menyerah?

Iya, mungkin saya kurang peka dengan kode-kode yang dia berikan. Saya tidak menyadari kalau dia perlahan mulai berubah. Seharusnya saya cepat sadar dan bangun dari mimpi. Kalau dia sudah tak inginkan saya (lagi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar